Masih banyak orang tua yang khawatir saat memberikan vaksin pada anaknya karena mendengar kabar mengenai dampak vaksin yang berisiko menyebabkan autisme. Padahal hingga saat ini, belum ada bukti ilmiah yang mendukung pernyataan tersebut.
Meningkatnya jumlah anak yang hidup dengan autisme pada beberapa dasawarsa terakhir menyebabkan kemunculan dugaan bahwa vaksin menjadi penyebabnya. Kekhawatiran ini dapat dipahami karena penyebab autisme sendiri hingga saat ini masih belum dapat dipastikan. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada anak, sangat wajar jika orang tua ingin menemukan hal yang menjadi penyebabnya. Mereka mencari berbagai faktor yang diduga bisa menjadi pemicu.
Di antara berbagai faktor tersebut, vaksin menjadi salah satu hal yang dianggap sebagai penyebab autisme. Banyak informasi yang beredar seputar hal ini, mulai dari pendapat perorangan hingga lembaga kesehatan.
Sebagai akibatnya, penyakit yang seharusnya bisa diantisipasi dengan imunisasi menjadi tidak tertangani dan justru mendatangkan risiko sendiri bagi yang menolak vaksin tersebut.
Salah satu bahan yang dianggap sebagai penyebab autisme adalah thimerosal, yaitu bahan pengawet di dalam vaksin. Bahan ini dianggap dapat menjadi racun yang menyerang sistem saraf pusat yang menjadi pemicu autisme pada anak. Sejak era 1980-an, kasus autisme memang meningkat drastis di Inggris. Namun nyatanya dari sekian banyak vaksin yang diberikan pada anak, hanya satu yang mengandung thimerosal, yaitu vaksin DTP (Difteri, Pertusis, Tetanus).
Tidak Ditemukan Bukti Ilmiah
Selama lebih dari 15 tahun terakhir, telah banyak institusi independen yang menguji hubungan antara vaksin dengan autisme dan tidak menemukan hubungan antara paparan thimerosal dengan autisme. Berikut ini beberapa kesimpulan di antaranya:
- Tidak ditemukan hubungan sebab dan akibat antara vaksin dengan thimerosal sebagai pemicu autisme.Tidak ada bukti yang mendukung hubungan antara vaksin yang mengandung thimerosal dan fungsi neuropsikologi pada anak usia 7-10 tahun.
- Penelitian terhadap anak-anak yang mendapat vaksin DTaP yang mengandung thimerosal dibandingkan dengan mereka yang menerima vaksin yang sama tanpa thimerosal. Sepuluh tahun kemudian, penelitian tersebut tidak menemukan gangguan neurologis pada anak yang menerima vaksin dengan thimerosal.
- Tidak ditemukan asosiasi antara vaksinasi dengan autisme atau gangguan autisme spektrum lain. Tidak ada peningkatan risiko berkembangnya autisme atau kelainan autisme spektrum setelah menerima vaksin MMR, kandungan merkuri, dan thimerosal dalam vaksin. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa vaksinasi tidak berhubungan dengan perkembangan autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD).
Meski demikian, untuk mengantisipasi kemungkinan, beberapa negara sudah menghentikan pemberian vaksin dengan thimerosal dan menggantinya dengan bahan lain.
Pada akhirnya, vaksin telah terbukti menyelamatkan jutaan nyawa manusia dari penyakit-penyakit mematikan yang sebelumnya tidak dapat diantisipasi. Jika memang terdapat beberapa kasus yang terjadi setelah pemberian vaksin, hal ini tidak dapat digeneralisasi atau langsung disimpulkan vaksin sebagai penyebabnya. Setiap pernyataan perlu diuji kebenarannya dan untuk saat ini, vaksin tidak menyebabkan autisme. Sehingga dapat disebut bahwa manfaat vaksinasi jauh melebihi risiko yang dapat ditimbulkannya.
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan
1. Definisi Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan
2. Etiologi Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis. Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50ºC tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10ºC dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.
3. Epidemiologi Tersebar diseluruh dunia . ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan, Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 44%, 1-4 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, 12 tahun lebih: 24% ( Amerika tahun 1993).
4. Patolofisiologi Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag. Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik.
Perlengketan dipengaruhi oleh FHA ( filamentous Hemoglutinin), LPF (lymphositosis promoting factor), proten 69 kd yang berperan dalam perlengketan Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi. Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas isulin.
Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus. Penumpukan mucus akan menyebabkan plug yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis.
5. Gejala Klinis Masa inkubasi Bordetella pertusis adlah 6-2 hari ( rata rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu. Ada 3 stadium Bordetella pertusis
Stadium kataral (1-2 minggu) Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius
Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu) Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis , penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.
Stadium konvalesens (1-2 minggu) Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.
6. Diagnosis Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis( 20.000-50000/ul) pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema. Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold.
7. Diagnosis banding Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis. Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab.
8. Kompliksi Alat pernapasan Dapat terjadi otitis media “sering pada bayi”, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema “dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat”, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak.
Alat pencernaan Muntah muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis.
Susunan saraf pusat Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi.
Lain lain Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.
9. Terapi • Antibiotika 1. Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda. 2. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis. 3. lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.
• Imunoglobulin Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium kataralis.
• Ekspektoransia dan mukolitik • Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali. • Luminal sebagai sedative. • Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik. • Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi • Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop.
10. Prognosis Bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf pusat yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil. Dimana frekuensi komplikasi terbanyak dilaporkan pada bayi kurang dari 6 bulan mempunyai mortalitas morbiditas yang tinggi.
11. Pencegahan
lakukan vaksinasi DPT pada usia 2,4,6 bulan dan di ulang pada usia 18 bulan dan 5 tahun
Mengenal Pentingnya Imunisasi Bagi Anak Terhadap Penyakit Menular
Sudahkah
kita diimunisasi? Bila belum yakin silahkan tanya orangtua kita, dan
bagi orangtua yang mempunyai bayi masih ada kesempatan untuk melakukan
imunisasi. Imunisasi merupakan salah satu program pemerintah dalam
bidang medis, jadi bagi anda selaku orang tua jangan khawatir mengenai
biaya yang harus dikeluarkan karena bila imunisasinya di lakukan di
puskesmas anda akan mendapat pelayanan secara gratis. Jadi tidak ada
alasan bagi mereka yang merasa keberatan biaya. Sebenarnya apa sih manfaat imunisasi?
Sebelum kita membahas manfaat dari imunisasi, kita kebali dulu apa
itu imunisasi / vaksinasi. Imunisasi itu sendiri adalah pemindahan atau
transfer antibodi [bahasa awam: daya tahan tubuh] secara pasif. Antibodi
diperoleh dari komponen plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit
tertentu.
Sedangkan pengertian vaksin adalah suatu produk biologik yang terbuat
dari kuman, komponen kuman, atau racun kuman yang telah dilemahkan atau
dimatikan dan berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan tubuh
seseorang. Jenis vaksin dan manfaatnya
BCG (Bacillus Calmette-Guerin): untuk mencegah penyakit TBC dan radang otak.
DPT: untuk melindungi anak dari penyakit Difteri, pertusis, dan tetanus
DT: untuk pemberian kekebalan simultan terhadap difteri dan tetanus
TT: untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus
MMR (Mumps, Measles, Rubella)
HPV (Human Papilloma Virus):Melindungi anak-anak dari virus Human Papiloma Virus (penyebab kanker serviks)
Varicella: untuk melindungi anak dari cacar air
Penggolongan vaksin Penggolongan berdasarkan asal antigen (immunization essential)
Vaksin yang berasal dari bibit yang dilemahkan (live attenuated) yaitu polio (OPV), campak, yellow fever, BCG.
Vaksin yang berasal dari bibit penyakit yang dimatikan yaitu IPV
(inactivated Polio Vaksin / polio injeksi), pertusis, Hib, DT, TT,
Hepatitis B
Penggolongan berdasarkan sensitivitas terhadap suhu
Vaksin sensitive beku ( Freeze sensitive) yaitu golongan vaksin yang akan rusak terhadap suhu dingin dibawah 00 C seperti vaksin hepatitis B, DPT, DPT/HB, DT, TT.
Vaksin sensitive panas (haet sensitive) yaitu golongan vaksin yang
akan rusak terhadapa paparan suhu panas yang berlebih, yaitu vaksin BCG,
polio, campak.
Dalam
kurun waktu 12 jam setelah lahir, bayi wajib diberi vaksin hepatitis B.
“Berdasarkan studi, 7095 persen infeksi perinatal hepatitis B dapat
dicegah dengan cara itu,” kata Mohammad Djufrie, Guru Besar dan Kepala
Subdivisi Gastrohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
dalam konferensi pers simposium ilmiah dalam rangka memperingati Hari
Hepatitis Sedunia yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Minggu (28/7), di Jakarta. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menyatakan, penularan
hepatitis B yang paling umum adalah dari ibu ke bayi (penularan
vertikal). Karena itu, vaksinasi pada bayi menjadi penting. Menurut
moderator, dokter spesialis anak Hanifah Oswari, Indonesia menempati
peringkat ketiga di dunia setelah China dan India dalam jumlah pengidap
hepatitis. Sekitar 10 persen orang Indonesia mengidap virus hepatitis
B. (*)
Vaksin
cacar air adalah cara terbaik untuk melindungi Anda dan anak Anda dari
cacar air. Juga, ketika Anda divaksinasi, Anda melindungi orang lain di
komunitas Anda. Hal ini penting bagi orang-orang yang tidak divaksinasi,
seperti orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah dan wanita
hamil. Ada dua merk vaksin yang beredar di Indonesia untuk Cacar Air yaitu OKAVAX dan VARICELLA. Anak-anak harus mendapatkan vaksin cacar air dosis pertama ketika
mereka berusia 12 sampai 15 bulan dan dosis kedua pada usia 4 sampai 6
tahun. Orang berusia 13 tahun dan lebih tua yang belum pernah menderita
cacar air harus mendapatkan dua dosis setidaknya dengan jarak 28 hari.
Jika Anda atau anak Anda hanya pernah divaksinasi dengan satu dosis di
masa lalu, periksa ke dokter Anda untuk mendapatkan dosis kedua. Vaksin cacar air lebih aman daripada tertular penyakit. Pastikan Anda dan anak-anak Anda dilindungi. Disarikan dari: http://www.cdc.gov/Features/PreventChickenpox/
Imunisasi Tambahan untuk Anak Itu Penting Nggak Ya?
Pemerintah mewajibkan 5 imunisasi untuk bayi dan anak-anak yaitu hepatitis B, BCG
(Bacillus Calmette–Guerin, yang merupakan vaksin untuk mencegah penyakit
tuberkolosis) , Polio, Campak dan DPT ((Difteri Pertusis Tetanus,
vaksinasi tetanus).
Selain 5 yang diwajibkan oleh pemerintah itu, masih ada imunisasi
tambahan lain untuk bayi. Seberapa penting imunisasi tambahan itu?
Menurut Dr. Soedjatmiko, SpA (K),Msi yang merupakan sekretaris satgas
imunisasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dan ahli tumbuh kembang
anak FKUI RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), semua vaksin penting
karena dibuat dan dikembangkan oleh dokter maupun ahli kesehatan.
“Adanya imunisasi wajib dan tambahan sebetulnya hanya istilah saja
karena untuk saat ini, pemerintah baru siap mensubsidi 5 virus pada
pelayanan kesehatan. Di negara maju, pemberian imunisasi diberikan semua
karena penting. Jadi tidak ada yang paling penting dan tidak penting,”
katanya saat dihubungiLiputan6.com, Selasa (5/1/2013).
“Istilah imunisasi ‘tambahan’ di negara kita karena pemerintah belum
mampu menyediakan/mensubsidi imunisasi ‘tambahan’ tersebut. Negara
dengan jumlah bayi sedikit dan punya dana banyak, mampu memberikan semua
imunisasi gratis,” jelasnya.
Seperti tertera di Undang-undang 36 tahun 2009, pasal 130 yang berisi
pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan
anak, maka bayi wajib mendapatkan imunisasi yang sifatnya wajib seperti
hepatitis B, BCG (Bacillus Calmette–Guerin, yang merupakan vaksin untuk
mencegah penyakit tuberkolosis) , Polio, Campak dan DPT ((Difteri
Pertusis Tetanus, vaksinasi tetanus).
Menanggapi mitos yang berkembang masyarakat mengenai kekhawatiran ibu
yang cemas divaksin karena malah akan membuat sistem kekebalan tubuh
berkurang, Dr. Soedjatmiko menanggapinya.
“Imunisasi justru membuat bayi dan balita lebih kebal terhadap
penyait berbahaya yang dapat menyebabkan sakit berat, kematian atau
cacat. Banyak penelitian membuktikan kalau banyak bayi dan balita tidak
diimunisasi maka akan terjadi sakit berat, wabah, cacat atau kematian,”
tambahnya.
Seperti yang diutarakan Dr. Soedjatmiko, kalau setiap negara
mempunyai pola epidemiologi penyakit yang berbeda, anggaran yang
berbeda, sehingga jadwal imunisasi tiap negara disesuaikan pada pola
epidemiologi penyakit, budget, ketersediaan vaksin. Seperti dilansir Babycenter, Selasa (5/1/2013) ada 6
imunisasi ‘tambahan’ yang sebenarnya juga bermanfaat untuk daya tahan
tubuh bayi: 1. MMR (Measles, Mumps, Rubella)
Vaksin MMR terdiri dari tiga vaksin, yaitu campak, gondok dan rubella (campak Jerman).
Campak sudah dikenal dari dulu sebagai penyakit menular yang memiliki
gejala seperti ruam, demam, pilek, batuk, dan iritasi mata. Komplikasi
akibat campak juga termasuk infeksi telinga, diare, pneumonia, kejang,
kerusakan otak, dan kematian.
Lebih dari 500.000 kasus campak setiap tahunnya dilaporkan di Amerika
Serikat. Setelah pengenalan vaksin, jumlah kasus campak turun 99,9
persen menjadi sekitar 50 kasus per tahun.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), campak merupakan penyebab
utama kematian yang bisa dicegah dengan vaksin pada anak-anak. Namun
berkat upaya global untuk memvaksinasi anak-anak terhadap campak, WHO
memperkirakan bahwa lebih dari 13 juta jiwa telah diselamatkan.
Sementara itu, gondok adalah infeksi virus yang biasanya menyebabkan
demam, sakit kepala, dan radang kelenjar di bawah rahang. Gondok dapat
menyebabkan meningitis, ensefalitis, dan (jarang) tuli. Hal ini juga
dapat menyebabkan pembengkakan yang menyakitkan pada indung telur.
Dan Rubella atau biasa disebut campak Jerman, ditandai dengan ruam
merah merah muda yang dimulai pada wajah, demam ringan, dan pembengkakan
kelenjar getah bening.
Jika seorang wanita menderita rubella selama kehamilan, dapat
menyebabkan cacat keguguran atau lahir di bayinya, termasuk tuli,
masalah mata, kelainan jantung, dan keterbelakangan mental. Vaksin ini
pertama kalinya dilakukan pada tahun 1969 hingga saat ini.
Waktu pemberian vaksin MMR lebih baik pada usia 15 bulan dan bisa dilakukan kembali saat anak berusia 6 tahun.
2. Pneumokokus (PCV/Pneumococcal Vaccine)
Vaksin ini sebagian besar menyerang anak-anak di bawah usia 5 dan
dapat menyebabkan beberapa penyakit anak terburuk. Infeksi pneumokokus
adalah salah satu penyebab paling umum kematian di Amerika Serikat dari
penyakit yang dapat dicegah melalui vaksin.
Bakteri pneumokokus ditularkan melalui kontak dekat melalui batuk dan
bersin. Gejala pneumokokus biasanya termasuk demam dan menggigil, serta
nyeri dada, batuk, sesak napas, napas cepat, denyut jantung yang cepat,
kelelahan, dan kelemahan.
Waktu pemberian vaksin ini di usia2, 4, 6 bulan, dan antara 12 hingga 15 bulan.
3. Hib (Haemophilus influenzae)
Vaksin Hib (Haemophilus influenzae type B) bisa melindungi anak Anda
terhadap infeksi bakteri parah yang seringkali mempengaruhi bayi dan
anak di bawah 5 tahun.
Hal ini dapat menyebabkan epiglotitis (pembengkakan parah pada
tenggorokan yang membuat sulit untuk bernapas), pneumonia yang berat,
dan bakteri meningitis. Meningitis merupakan infeksi pada selaput yang
melindungi otak dan sumsum tulang belakang meningitis.
Waktu pemberian vaksin ini dari usia 2, 4, 6, dan 15 bulan.
4. HPV (Humanpapilloma Virus)
Vaksin yang dibuat untuk mencegah penyakit infeksi menular seks yang
dibawa orangtua. Gejala penyakit ini adanya kutil pada sekitar vagina
dan vulva, dekat anus dan rektum dalam Anda, pada leher rahim Anda, dan
kadang-kadang pada kulit dekat daerah selangkangan.
Waktu pemberian vaksin pada anak biasanya di atas usia 10 tahun dan
diberikan 3 kali dengan jadwal 0, 1-2 bulan kemudian, serta 6 bulan
kemudian.
5. Tifoid
Vaksin yang disebabkan penyakit tifus ini baik diberikan pada bayi usia 2 tahun, dan diulang setiap 3 tahun.
6. Varisela
Virus penyebab cacar air ini memang tidak wajib diberikan, namun
penyakit ini paling umum terjadi pada bayi dan anak. Waktu pemberian
yang baik adalah diatas 5 tahun.
Kedokteran wisata atau Travel Medicine (TM) merupakan cabang ilmu kedokteran yang menangani persiapan orang yang akan bepergian dengan tujuan agar mereka tetap hidup dan sehat selama perjalanan. Praktik TM diberikan dalam bentuk konsultasi pra-perjalanan (pre-travel consultation) untuk memberikan informasi mengenai risiko kesehatan selama perjalanan, anjuran imunisasi, memberikan kemoprofilaksis dan self-treatment (obat-obatan untuk dibawa dan dipakai jika perlu). Penyedia jasa TM di negara-negara maju tidak hanya dokter umum, tetapi juga registered nurse atau apoteker (pharmacist) dengan latar belakang pendidikan pascasarjana yang berbeda-beda. Sebagai upaya standarisasi, the International Society of Travel Medicine telah mengeluarkan Certificate in Travel Health (CTH) yang hanya diberikan kepada mereka setelah lulus ujian internasional dan berlaku selama 10 tahun.
Salah satu resiko kesehatan yang penting terkait perjalanan adalah resiko penularan penyakit dan penyebaran wabah yang dapat terjadi dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Imunisasi merupakan salah satu bentuk intervensi yang paling cost- effective untuk mencegah penularan penyakit infeksi selama perjalanan. Pemberiam imunisasi kepada pejalan (traveler) bermanfaat untuk :
· Melindungi para pejalan dari penyakit infeksi ketika bepergian · Melindungi para pejalan dari penyakit infeksi ketika mereka pulang · Melindungi populasi di tempat asal dari carrier penyakit infeksi selama perjalanan · Memperbaiki imunitas populasi di negara asal para pejalan terhadap penyakit-penyakit infeksi
Praktik TM sebenarnya ditujukan baik untuk orang dewasa maupun anak-anak, misalnya mereka yang akan melakukan liburan keluarga. Klinik TM di negara-negara maju melakukan vaksinasi baik terhadap orang tua maupun anak-anaknya.
EPIDEMIOLOGI GLOBAL PENYAKIT TERKAIT TRAVELLING
Epidemiologi penyakit terus berubah-ubah sepanjang masa. Dokter yang melakukan praktik TM harus mengetahui perkembangan terkini epidemiologi penyakit secara global, regional, maupun lokal. Pengetahuan ini disebut denganmedical geography. Oleh karena itu, setipa dokter yang melakukan praktik TM perlu melengkapi ruang praktiknya dengan buku atlas bumi yang lengkap dan akurat.
Risiko kesehatan terkait perjalanan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu penyakit menular dan tidak menular (misalnya mabuk perjalanan. Altitude sickness, jet lag, dan sebagainya). Penyakit menular dibagi lagi menjadi penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin (misalnya hepatitis A, influenza, yellow fever, dan sebagainya) serta yang tidak dapat dicegah vaksin (misalnya malaria, sebagian besar diare, SARS, dan sebagainya).
Urutan tingkat risiko secara epidemiologi dapat dilihat dari angka morbilitas dan mortalitas masing-masing penyakit. Secara umum, penyakit infeksi dengan morbiditas tertinggi adalah traveler’s diarrhea dengan angka insidens antara 10-60% di negara berkembang. Penyakit infeksi dengan mortalitas tertinggi pada pejalan adalah malaria. Namun, penyebab kematian terbanyak pada pejalan ketikan mengunjungi negara berkembang adalah kecelakaan lalu lintas (motor-vehicle accident) dan penyakit kardiovaskular.
Studi epidemiologi tunggal skala besar pertama kali dilakukan pada tahun 1984 dan menghasilkan angka penyakit-panyekit terkait perjalanan yang disajikan dalam skala logaritmik. Kemudian, skala ditambah diperbaharui secara rutin dari hasil berbagai studi lainnya sesuai perubahan epidemiologi penyakit menular terkini. Skala tahun 2011 (Robert Steffen, komunikasi pribadi) menunjukkan influenza sebagai penyakit yang dapat dicegah vaksin dengan angka insidens tertinggi.
PEMILIHAN VAKSIN UNTUK TRAVELLER
Vaksinasi pra perjalanan merupakan bagian integral dalam konstitusi pra-perjalanan. Konsultasi sebelum memberikan vaksin merupakan proses yang interaktif dengan calon pejalan dan harus di rancang secara berkala khusus bagi tiap individu. Anjuran vaksinasi untuk perjalanan harus didasarkan pada pengkajian risiko pejalan dan rincian perjalanannya. Risiko adalah kemungkinan cedera, penyakit, kerusakan, atau kehilangan sesuatu akibat bahaya yang nyata atau pontensial. Ketika mengkaji risiko dalam praktek TM, penyedia jasa mempertimbangkan manfaat dan mudarat (harm) serta kemungkinan konsekuensi medis suatu bentuk intervensi. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk membuat anjuran imunisasi adalah sebagai berikut :
· Evaluasi riwayat imunisasi traveller Jika terdapat riwayat imunisasi yang tidak lengkap, calon pejalan dianjurkan untuk mendapat imunisasi dasar terlebih dahulu agar status imunisasinya menjadi lengkap, disamping peluang untuk menawarkan imunisasi rutin pada orang dewasa dan remaja misalnya vaksin influenza dan human papilomavirus (HPV)
· Evaluasi status kesehatan pejalan dan obat-obatan yang sedang dipakai Tujuan evaluasi riwayat medis adalah untuk mengetahui bagaimana penyakit-penyakit yang dapat dicegah vaksin dapat mempengaruhi seorang pejalan. Berdasarkan kondisi medis, para pejalan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
· Pejalan yang akan berlibur ke tempat biasa saja dan tidak ada risiko khusus
· Pejalan ynag mengunjungi teman dan keluarga di negara asalnya
· Pejalan yang berisiko tinggi karena memiliki penyakit kronik tertentu atau kondisiimmunocompromised
· Kelompok tertentu, misalnya : ibu hamil, lanjut usia, anak dan bayi
· Pejalan kelompok, misalnya murid sekolah, tim olahraga, dan sebagainya
· Petualang, yaitu mereka yang bermaksud melakukan aktivitas risiko tinggi, pergi ke daerah terpencil, pekerja kemanusiaan, dan personel militer.
· Rincian perjalanan Rincian perjalanan (travel itineray) meliputi negara tujuan, kota-kota dan regio yang akan dikunjungi di setiap negara. Selanjutnya perlu diketahui tipe daerah ((rural, urban, hutan), cara perjalanan, tujuan perjalanan, tipe akomodasi, keadaan lingkungan dan lama tinggal. Informasi tersebut digunakan untuk mengkaji risiko penularan penyakit infeksi tertentu yang sedang mewabah atau endemik disuatu daerah/negara tetapi dapat dicegah dengan vaksin.
· Menentukan lama tinggal di setiap lokasi dalam rencana perjalanan Makin lama para pejalan tinggal di wilayah risiko, makin tinggi peluangnya terpajan dan terkena penyakit.
· Menentukan penyakit yang dapat dicegah vaksin dan besarnya ancaman penyakit tersebut di setiap tahapan perjalanan Dokter TM perlu mengetahui epidemiologi penyakit secara global dan berita wabah yang sedang berlangsung atau perlu diwaspadai calon pejalan
· Menentukan sisa waktu yang tersedia sebelum berangkat Banyak vaksin membutuhkan pemberian dosis multipel atau mungkin ada vaksin yang tidak dapat diberikan secara simultan dengan vaksin lainnya. Setidaknya dibutuhkan 4-6 minggu untuk merencanakan imunisasi yang berhasil sebelum seseorang berangkat
· Menentukan risk-benefit ratio untuk setiap vaksin yang diberikan Anjuran vaksinasi pertama-tama didasarkan pada faktor risiko spesifik yang mempengaruhi angka kejadian penyakit suatu wilayah. Namun, pemberian vaksin juga perlu mempertimbangkan efek simpang atau kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) meskipun sebagian besar vaksin saat ini aman dan jarang menimbulkan efek simpang. Efek simpang atau KIPI perlu dipertimbangkan dalam berbagai situasi, antara lain : pemberian simultan, ada riwayat alergi, immunocompromized traveler, kehamilan, pemberian antibiotik, dan antimalaria.
REKOMENDASI IMUNISASI Penyusunan prioritas pemberian vaksin perlu mempertimbangkan peraturan internasional yang berlaku. Saat ini, vaksin wajib (required) secara internasional hanyalah vaksin yellow fever, namun terdapat 2 vaksin lain yang wajib secara lokal yaitu meningokok dan polio
· Yellow fever Vaksinasi terhadap yellow fever (YF) bertujuan untuk mencegah importasi virus YF ke negara-negara dimana penyakit YF tidak ada, tetapi ada vektor nyamuk dan pejamu primata. Vaksinasi diberikan sebagai prasyarat masuk bagi para pejalan yang tiba dari negara-negara dimana ada risiko penularan YF. Setelah mendapat vaksin, seseorang akan mendapat sertifikat internasional yang sah setelah 10 hari sampai 10 tahun kemudian berdasarkan International Health Regulation revisi 2007. Sertifikat vaksin terhadap YF sejak 2007 disebutInternational Certificate of Vaccination or Proplylaxis
· Meningokok Vaksinasi terhadap penyakit meningokok dibutuhkan pejalan yang akan masuk ke Arab Saudi, termasuk jama’ah haji dan umroh. Rekomendasi saat ini adalah vaksin quadrivalen yang mencakup meningitis serogrup A, C, Y dan W-135
· Poliomielitis Beberapa negara bebas polio mungkin meminta bukti imunisasi polio pada saat mengurus visa kepada para pejalan dari negara-negara atau area yang masih ada virus polio liar (wild polio) yaitu Afganistan, India, Nigeria dan Pakistan.
Rumah Vaksinasi didirikan pada akhir Maret 2012 oleh dr. Piprim B. Yanuarso, SpA(K) karena keprihatinan akan mahalnya biaya vaksinasi di Rumah Sakit Swasta. Rumah Vaksinasi berjuang untuk memberikan solusi berupa layanan vaksinasi bagi anak dan dewasa yang murah dengan kualitas prima. Rumah vaksinasi juga mencoba untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat akan pentingnya vaksinasi melalui program-programnya.
RUMAH VAKSINASI PONDOKGEDE
Rumah Vaksinasi pondokgede mulai di buka pada akhir bulan April 2013. Berdasarkan analisa kebutuhan vaksinasi yang semakin meningkat dan luasnya cakupan wilayah Rumah Vaksinasi pusat maka hal ini mendorong untuk membuka beberapa cabang Rumah Vaksinasi dan salah satunya yang berada di Pondok Gede.
Bertindak sebagai vaksinator di Rumah Vaksinasi pondokgede adalah dr.Oktafiani Mayangsuri (dr.Mayang). Tenaga medis yang ada di cabang Rumah Vaksinasi pondokgede merupakan tenaga medis yang telah di standarkan sesuai requirement yang ada di Rumah Vaksinasi.
PELAYANAN DI RUMAH VAKSINASI
Rumah vaksinasi memperhatikan kesehatan klien secara utuh. setiap anak yang datang ke rumah vaksinasi akan di pantau tumbuh kembangnya. Orang tua juga akan di pandu untuk memberikan ASI ekslusif kepada anaknya.
Klien anak dan dewasa yang datang untuk imunisasi akan di periksa kondisi kesehatannya, sehingga kami bisa memberikan pelayanan yang optimal dalam meningkatkan kesehatan klien.
PELAYANAN YANG MURAH
Rumah Vaksinasi memberikan pelayanan dengan biaya JAUH LEBIH TERJANGKAU dari Rumah sakit swasta.
Adapun layanan kami :
Vaksinasi Bayi dan Anak
Vaksinasi Dewasa
Vaksinasi Usia Sekolah
Vaksinasi Pra-Nikah
Vaksinasi Perusahaan
Vaksinasi Tenaga Kesehatan
Vaksinasi Boarding School
Vaksinasi Lansia
Program CSR Perusahaan
Konseling Laktasi
Khitan bayi perempuan
Tindik telinga
Seminar Kesehatan
JADWAL PRAKTEK
Rumah Vaksinasi Pondokgede di kelola oleh dr.Mayang dengan jadwal sebagai berikut :
SENIN, SELASA, JUM'AT : JAM 18.30 - 20.00
SABTU : JAM 09.00 - 12.00
MINGGU : JAM 09.00 - 11.00
Segera hubungi rumah vaksinasi pondokgede di:
Telp :021-22107589
HP dan Whatsapp : 081212340434
PIN BB : 5A31854C
Twitter : @rvpondokgede
Facebook : http//:www.facebook.com/rumahvaksinasipondokgede Alamat : Jl. Camar No.10 Komp. Bumi Makmur, kurang lebih 500 m dari pasar pondok gede, tepat sebrang TIPTOP masuk ke dalam dekat masjid Al Muhajirin
Jakarta,
Kabar burung seputar imunisasi banyak berseliweran, tapi rata-rata
masyarakat mempercayai begitu saja kabar tersebut tanpa mencari tahu
kebenarannya. Apa saja mitos-mitos seputar imunisasi tersebut?Imunisasi
sangat penting sebagai pencegahan terhadap penyakit yang belum ada
obatnya, penyakit mematikan atau dapat menimbulkan kecacatan serta
melibatkan orang banyak. Selain itu imunisasi juga berguna untuk
melindungi anak, menurunkan kejadian penyakit menular di masyarakat
serta menjaga keluarga dan anak-anak tetap sehat.
Kadang-kadang akibat mitos yang beredar di masyarakat banyak orangtua
yang tidak memberikan anaknya imunisasi, karena takut anaknya terkena
autis atau sakit setelah melakukan suatu imunisasi.
Berikut beberapa mitos seputar imunisasi: 1. Vaksin MMR (measles, mumps dan rubella) bisa menyebabkan anak autis.
“Tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan perkembangan autis, ini
sudah dibuktikan melalui penelitian ilmiah,” ujar Dr. Jeffry Senduk, SpA
dalam acara seminar mengenai imunisasi pada anak di Siloam Hospital
Kebon Jeruk, Jakarta.
Dr. Jeffry menambahkan biasanya gejala autis pertama kali terlihat
saat bayi berusia 12 sampai 18 bulan, dimana hampir bersamaan dengan
diberikannya vaksin MMR. Kebanyakan autis disebabkan oleh factor
genetic, jadi jangan takut untuk memberikan vaksin MMR pada anak. 2. Terlalu banyak vaksin akan membebani sistem imun.
Mitos ini tidak benar, karena meskipun jumlah suntikan vaksin
meningkat tapi jumlah antigen telah menurun. Selain itu sistem imun
manusia memberikan respons terhadap ratusan antigen dalam kehidupan
setiap hari.
“Berbagai penelitian tidak memperlihatkan meningkatnya penyakit
infeksi setelah adanya imunisasi,” ujar dokter yang berpraktik di Siloam
Hospital Kebun Jeruk ini. 3. Tidak boleh memberikan ASI sesudah vaksin polio.
Dr. Jeffry mengatakan anak yang diberikan vaksin polio boleh langsung
diberikan ASI. Jika anak muntah sesudah imunisasi polio, maka imunisasi
bisa diberikan kembali setelah 10 menit dengan dosis yang sama. 4. Anak sakit flu tidak boleh diimunisasi.
Jika anak hanya sakit flu yang ringan maka boleh saja dilakukan
imunisasi, asalkan anak tidak demam dan tidak rewel. Jika bayi sangat
rewel maka tunda melakukan imunisasi 1 hingga 2 minggu. 5. Lebih baik memberi natural infeksi dibanding dengan vaksinasi.
Mitos ini tidak benar. “Suatu penyakit bisa mengakibatkan kematian
serta kecacatan yang permanen, dan dengan melakukan vaksinasi dapat
memberikan perlindungan tanpa efek samping yang berat,” ujar Dr. Jeffry. 6. Sesudah imunisasi tidak akan tertular penyakit tersebut.
Tidak ada vaksinasi yang memberikan perlindungan terhadap suatu
penyakit secara 100 persen. Bayi atau anak yang telah melakukan
imunisasi masih ada kemungkinan yang sangat kecil untuk bisa tertular
penyakit tersebut, namun akan jauh lebih ringan dibandingkan dengan anak
yang tidak diimunisasi. Sehingga kemungkinan untuk bisa disembuhkan
jauh lebih besar.
7. Jika saat balita sudah diimunisasi lengkap, di sekolah tidak perlu imunisasi lagi.
Ada beberapa imunisasi yang harus diulang saat sekolah dasar yaitu
imunisasi campak dan DT saat kelas 1 dan imunisasi TT saat kelas 2, 3
dan 6. Karena banyak anak yang sudah divaksin waktu bayi ternyata pada
umur 5 sampai 7 tahun 28,3 persen terkena campak, pada umur lebih dari
10 tahun terkena difteria, serta untuk pemberantasan tetanus dibutuhkan 5
kali suntikan TT sejak bayi hingga dewasa sehingga kekebalan pada umur
dewasa bisa berlangsung hingga 20 tahun lagi.
Anda jangan langsung percaya terhadap semua kabar burung yang beredar
mengenai imunisasi, sebaiknya cari tahu penjelasannya melalui
situs-situs ilmiah di internet atau berkonsultasi dengan dokter anak
Anda.
Imunisasi adalah pemberian vaksin pada
bayi dan balita dengan cara disuntikkan atau diteteskan ke mulut untuk
mencegah terjadinya penyakit tertentu. Setelah bayi di imunisasi akan
terjadi demam atau tidak, itu tergantung pada daya tahan tubuhnya.
Beberapa tips yang dapat di lakukan sebelum dan setelah bayi/ balita anda diimunisasi :
Untuk menghindari reaksi imunisasi :
- Saat akan diimunisasi pastikan anak
dalam kondisi sehat. Tidak disarankan memberikan vaksin pada anak yang
demam atau sedang sakit yang lebih serius dari batuk pilek
- Jika anak memiliki sejarah alergi informasikan kepada dokter, karena
pada kasus alergi tertentu anak perlu dihindari dari beberapa vaksin.
Contoh : MMR atau vaksin cacar jangan diberikan pada anak yang alergi
gelatin. Vaksin influenza sebaiknya tidak diberikan pada anak yang
alergi telur.
Sebagian imunisasi menimbulkan reaksi bengkak dan kemerahan di sekitar
daerah yang disuntik dan atau menimbulkan demam, maka agar bayi nyaman
setelah diimunisasi, lakukan :
- Beri obat penurun demam dengan dosis sesuai anjuran dokter
- Kompres dengan air dingin di bekas bagian yang disuntik selama 10-20 menit untuk membantu mengurangi rasa sakit dan bengkak
- Beri banyak cairan karena bisa membantu mengurangi demam
- Atur pendingin ruang agar suhunya nyaman untuk anak
Segera hubungi dokter bila anak menunjukkan gejala berikut tak lama setelah diimunisasi :
- Sulit bernapas
Pada kehamilan terdapat
perubahan pada seluruh tubuh wanita, termasuk pada sistem imun. Sistem imun
selama kehamilan mengalami pergeseran dari imunitas seluler menuju imunitas
humoral. Pergeseran tersebut menyebabkan wanita hamil rentan terkena infeksi.
Oleh karena itu, proteksi sangat penting diberikan pada kehamilan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu hamil dan janin yang dikandungnya.
Vaksinasi merupakan metode
proteksi efektif untuk mengeradikasi penyakit infeksi. Program vaksinasi telah
rutin diberikan pada anak-anak, namun pada dewasa penggunannya masih bersifat
terbatas. Sedangkan pemberian vaksin rutin pada kehamilan masih mengalami
hambatan keterbatasan data yang menunjukkan hubungan antara gangguan
perkembangan janin dengan wanita hamil yang divaksinasi. Pemberian vaksinasi
pada kehamilan dapat dilakukan atas pertimbangan manfaat dan resiko yang
diperoleh terhadap ibu dan janin jika tidak diproteksi dengan vaksin. Manfaat
dari vaksinasi pada wanita hamil lebih besar daripada risiko potensial ketika
kecenderungan penyakit yang terpapar lebih besar, ketika infeksi yang
menimbulkan risiko bagi ibu atau janin, dan ketika vaksin yang akan diberikan
cukup aman.
Vaksin virus inaktif, vaksin
bakteri inaktif atau toxoid dapat diberikan pada kehamilan, kecuali vaksin
virus hidup. Secara teoritis, vaksin virus hidup berisiko untuk terjadinya
transmisi ke janin. Wanita hamil yang dengan sengaja telah diberikan vaksin
virus hidup atau seorang wanita menjadi hamil dalam waktu 4 minggu setelah
pemberian vaksin tersebut, sebaiknya dikonsultasikan mengenai dampak potensial
yang dapat terjadi pada janin. Namun, vaksinasi bukan indikasi untuk terminasi
kehamilan.
Pemberian vaksin rutin umumnya
aman diberikan pada saat kehamilan karena dapat juga melindungi bayi yang
sedang dikandung dari penyakit, terutama pada bulan-bulan pertama kehamilan
sampai bayi tersebut lahir dan mendapat vaksinasi sendiri. Berbagai jenis
vaksin-vaksin yang direkomendasikan pada kehamilan adalah sebagai berikut :
Vaksin
Sebelum
kehamilan
Selama
kehamilan
Setelah
kehamilan
Jenis
Vaksin
Cara
pemberian
Hepatitis
A
Jika
ada risiko
Jika
ada risiko
Jika
ada risiko
inaktif
IM
Hepatitis
B
Ya,
jika ada risiko
Ya,
jika ada risiko
Ya,
jika ada risiko
Inaktif
IM
Human
Papilomavirus/HPV
Ya,
usia 9-24 tahun
Tidak
Ya,
usia 9-24 tahun
Inaktif
IM
Influenza
(Inaktif)
Ya,
hindari konsepsi selama 4 minggu
Ya
Ya
Inaktif
IM
Meningokok
· Conjugat
· Polisakarida
Jika
ada indikasi
Ya,
jika ada indikasi
Jika
ada indikasi
· Inaktif
· Inaktif
· IM
· SC
Pneumokok
polisakarida
Jika
ada indikasi
Jika
ada indikasi
Jika
ada indikasi
Inaktif
IM
atau SC
Polio
(IPV)
Jika
ada indikasi
Dihindari
kecuali ada risiko
Jika
ada indikasi
Inaktif
SC
Tetanus-diptheria
(Td)
Ya,
Tdap lebih dipilih
Jika
ada indikasi
Ya,
Tdap lebih dipilih
Toxoid
IM
Tetanus-Dhiptheria-Pertusis
(Tdap)
Ya
Ya,
jika risiko lebih tinggi pertusis
Ya
Toxoid
IM
Varicela
Ya,
hindari konsepsi selama 4 minggu
Tidak
Ya,
hindari konsepsi selama 4 minggu
Hidup
SC
Influenza
(LAIV)
Ya,
jika <50 tahun dan sehat, hindari konsepsi selama 4 minggu
Tidak
Ya,
jika <50 tahun dan sehat, hindari konsepsi selama 4 minggu
Hidup
Nasal Spray
MMR
Ya,
hindari konsepsi selama 4 minggu
Tidak
Ya,
hindari konsepsi selama 4 minggu
Hidup
SC
Keterangan :
1. Vaksin
Hepatitis A
Vaksin hepatitis A adalah virus
yang diperoleh dari kultur sel diploid dan dinonaktifkan dengan formalin.
Karena virus inaktif, secara teoritis risiko gangguan pada perkembangan janin
rendah. Vaksin diberikan pada wanita hamil jika ada risiko antara lain kecenderungan
terpapar hepatitis A, perilaku seks oral-anal atau menggunakan IVDU selama
kehamilan
2. Vaksin Hepatitis B
Vaksin hepatitis B adalah
berasal dari antigen permukaan virus hasil teknologi DNA rekombinan. Karena
berasal dari partikel antigen permukaan yang noninfeksius, maka tidak ada
risiko infeksi terhadap janin. Vaksin hepatitis B dapat mencegah terjadinya
penyakit kronik dengan komplikasi sirosis, karsinoma hepatoseluler, serta
karier kronik. Vaksin ini dianjurkan pada wanita hamil dengan faktor risiko
yaitu wanita yang berhubungan seks dengan laki-laki homoseksual, lebih dari
satu pasangan seks selama 6 bulan terakhir, pasangan seks yang positif HbsAg,
pengguna narkoba suntik, sedang dalam pengobatan penyakit menular seksual, atau
satu rumah dengan orang infeksi akut atau kronik karier.
3. Vaksin Human Papiloma Virus
(HPV)
Vaksin HPV tidak
direkomendasikan pada wanita hamil. Jika wanita tersebut hamil setelah
diberikan vaksin HPV, maka serial vaksin berikutnya setelah wanita tersebut
melahirkan.
4. Vaksin Influenza
Vaksin influenza yang diberikan
pada kehamilan berupa vaksin inaktif. Pemberian vaksin dilakukan pada kehamilan
trimester kedua dan ketiga, vaksin tidak boleh diberikan selama trimester
pertama karena ada hubungannya dengan vaksin influenza dengan risiko aborsi
spontan. Pada wanita hamil dengan kondisi medis yang dapat meningkatkan risiko
komplikasi dari influenza seperti asma, penyakit kardiovaskuler, diabetes,
supresi sistem imun, sebaiknya vaksinasi dilakukan sebelum musim influenza.
5. Vaksin Meningokok
Vaksin meningokok adalah
polisakarida murni dari 4 serogrup Neisseria meningitidis (A, C, Y,
W-135/tetravalen). Keamanan vaksin ini pada ibu hamil masih belum dipastikan
karena keterbatasan data.
6. Vaksin Pneumokok
Pemberian vaksin pneumokok
direkomendasikan pada wanita hamil dengan faktor resiko. Vaksin yang diberikan
adalah vaksin polisakarida dari 23 tipeStreptococcus pneumoniae.Advisory Commite on Immunization Practices(ACIP) pun menganjurkan vaksinasi ini pada wanita dengan risiko
tinggi sebelum hamil.
7. Vaksin Polio
Vaksin polio yang
direkomendasikan ACIP pada kehamilan adalah inactivated polio vaccine (IPV).
Virus ini diinaktifkan oleh formaldehid. Meskipun data-data yang ada tidak
menunjukkan efek negatif pemberian IPV pada ibu hamil dan janin, pemberian
vaksin pada kehamilan sebaiknya dihindari dan penggunaannya dibatasi atas dasar
indikasi.
8. Vaksin Tetanus-difteri (Td)
Vaksin Td toxoid rutin
dianjurkan pada wanita hamil yang rentan. Wanita hamil yang sudah vaksinasi Td 10
tahun sebelumnya sebaiknya diberikan dosis penguat (Booster). Sedangkan wanita
hamil yang belum mendapatkan vaksinasi diberikan tiga dosis vaksinasi serial.
Dua dosis diberikan saat kehamilan dengan jarak antara dua dosis selama 4
minggu, dan dosis terakhir 6 bulan setelah dosis kedua. Pemberian vaksin Td
selama kehamilan efektif melindungi ibu dan janin. Penundaan pemberian vaksin
sampai trimester kedua akan meminimalisasi kemungkinan rekasi yang tidak
diinginkan meskipun data menunjukkan bahwa vaksin Td tidak bersifat
teratogenik.
9. Vaksin
Tetanus-Difteri-Pertusis (Tdap)
Vaksin Tdap lebih baik
diberikan pada trimester kedua atau trimester ketiga kehamilan. Pemberian
vaksin selama kehamilan akan melindungi bayi melawan pertusis pada awal
kehidupan.
10. Vaksin Varisela
Vaksin varicela adalah virus
varicela-zoster hidup yang dilemahkan. Vaksinasi selama kehamilan
dikontraindikasikan karena efek terhadap fetus belum diketahui. Wanita yang
divaksinasi seharusnya menghindari terjadinya kehamilan selama 4 minggu setelah
suntikan.
11. Vaksin Measles, Mumps, dan
Rubella (MMR)
Vaksin measles, mumps dan
rubella (MMR) berisi virus measles, mumps, dan rubella hidup yang dilemahkan.
Pemberian vaksin MMR kontraindikasi pada kehamilan. Bagi wanita yang
divaksinasi sebaiknya menunda kehamilan selama 4 minggu setelah penyuntikan
Sumber : Buku Pedoman Imunisasi
Orang Dewasa Tahun 2012