Sabtu, 31 Oktober 2015

Vaksinasi dapat menyebabkan autisme ?

Vaksinasi Dapat Menyebabkan Autisme?

Masih banyak orang tua yang khawatir saat memberikan vaksin pada anaknya karena mendengar kabar mengenai dampak vaksin yang berisiko menyebabkan autisme. Padahal hingga saat ini, belum ada bukti ilmiah yang mendukung pernyataan tersebut.

Meningkatnya jumlah anak yang hidup dengan autisme pada beberapa dasawarsa terakhir menyebabkan kemunculan dugaan bahwa vaksin menjadi penyebabnya. Kekhawatiran ini dapat dipahami karena penyebab autisme sendiri hingga saat ini masih belum dapat dipastikan. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada anak, sangat wajar jika orang tua ingin menemukan hal yang menjadi penyebabnya. Mereka mencari berbagai faktor yang diduga bisa menjadi pemicu.

Di antara berbagai faktor tersebut, vaksin menjadi salah satu hal yang dianggap sebagai penyebab autisme. Banyak informasi yang beredar seputar hal ini, mulai dari pendapat perorangan hingga lembaga kesehatan.

Sebagai akibatnya, penyakit yang seharusnya bisa diantisipasi dengan imunisasi menjadi tidak tertangani dan justru mendatangkan risiko sendiri bagi yang menolak vaksin tersebut.

Salah satu bahan yang dianggap sebagai penyebab autisme adalah thimerosal, yaitu bahan pengawet di dalam vaksin. Bahan ini dianggap dapat menjadi racun yang menyerang sistem saraf pusat yang menjadi pemicu autisme pada anak. Sejak era 1980-an, kasus autisme memang meningkat drastis di Inggris. Namun nyatanya dari sekian banyak vaksin yang diberikan pada anak, hanya satu yang mengandung thimerosal, yaitu vaksin DTP (Difteri, Pertusis, Tetanus).
Tidak Ditemukan Bukti Ilmiah

Selama lebih dari 15 tahun terakhir, telah banyak institusi independen yang menguji hubungan antara vaksin dengan autisme dan tidak menemukan hubungan antara paparan thimerosal dengan autisme. Berikut ini beberapa kesimpulan di antaranya:

- Tidak ditemukan hubungan sebab dan akibat antara vaksin dengan thimerosal sebagai pemicu autisme.Tidak ada bukti yang mendukung hubungan antara vaksin yang mengandung thimerosal dan fungsi neuropsikologi pada anak usia 7-10 tahun.
- Penelitian terhadap anak-anak yang mendapat vaksin DTaP yang mengandung thimerosal dibandingkan dengan mereka yang menerima vaksin yang sama tanpa thimerosal. Sepuluh tahun kemudian, penelitian tersebut tidak menemukan gangguan neurologis pada anak yang menerima vaksin dengan thimerosal.
- Tidak ditemukan asosiasi antara vaksinasi dengan autisme atau gangguan autisme spektrum lain. Tidak ada peningkatan risiko berkembangnya autisme atau kelainan autisme spektrum setelah menerima vaksin MMR, kandungan merkuri, dan thimerosal dalam vaksin. Kesimpulan penelitian ini adalah  bahwa vaksinasi tidak berhubungan dengan perkembangan autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD).

Meski demikian, untuk mengantisipasi kemungkinan, beberapa negara sudah menghentikan pemberian vaksin dengan thimerosal dan menggantinya dengan bahan lain.

Pada akhirnya, vaksin telah terbukti menyelamatkan jutaan nyawa manusia dari penyakit-penyakit mematikan yang sebelumnya tidak dapat diantisipasi. Jika memang terdapat beberapa kasus yang terjadi setelah pemberian vaksin, hal ini tidak dapat digeneralisasi atau langsung disimpulkan vaksin sebagai penyebabnya. Setiap pernyataan perlu diuji kebenarannya dan untuk saat ini, vaksin tidak menyebabkan autisme. Sehingga dapat disebut bahwa manfaat vaksinasi jauh melebihi risiko yang dapat ditimbulkannya.





Senin, 12 Oktober 2015

Apa si Pertusis atau Batuk Rejan alias Whooping Cough?

Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan

1. Definisi
Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan

2. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis.
Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid  kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50ºC tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10ºC dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.

3. Epidemiologi
Tersebar diseluruh dunia . ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan,  Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak  antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 44%, 1-4 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, 12 tahun lebih: 24% ( Amerika tahun 1993).

4. Patolofisiologi
Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.  Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag. Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik.


Perlengketan dipengaruhi oleh FHA ( filamentous Hemoglutinin), LPF (lymphositosis promoting factor), proten 69 kd yang berperan dalam perlengketan  Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi. Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas isulin.


Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus. Penumpukan mucus akan menyebabkan plug  yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis.

5. Gejala Klinis
Masa inkubasi Bordetella pertusis adlah 6-2 hari ( rata rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu.
Ada 3 stadium Bordetella pertusis

Stadium kataral (1-2 minggu)
Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius

Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu)
Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis , penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.

Stadium konvalesens (1-2 minggu)
Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

6. Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan  bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis( 20.000-50000/ul) pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan  secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema.  Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold. 

7. Diagnosis banding
Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis. Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab.

8. Kompliksi
Alat pernapasan
Dapat terjadi otitis media “sering pada bayi”, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema “dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat”, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak.

Alat pencernaan
Muntah muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis.

Susunan saraf pusat
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi.

Lain lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.

9. Terapi
• Antibiotika
1. Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis.
Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda.
2. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis.
3. lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.

• Imunoglobulin
Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium kataralis.

• Ekspektoransia dan mukolitik
• Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali.
• Luminal sebagai sedative.
• Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik.
• Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi
• Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop.







10. Prognosis
Bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf pusat yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil. Dimana frekuensi komplikasi terbanyak dilaporkan pada bayi kurang dari 6 bulan mempunyai mortalitas morbiditas yang tinggi.

 11. Pencegahan
 lakukan vaksinasi DPT pada usia 2,4,6 bulan dan di ulang pada usia 18 bulan dan 5 tahun